Minggu, 21 November 2010

Akuntansi Syariah

Sejarah akuntansi syariah (baca akuntansi zakat), sebenarnya sudah lama lahir. Jika diruntut, sejak ada perintah untuk membayar zakat itu. Adanya perintah membayar zakat itulah mendorong pemerintah untuk membuat laporan keuangan secara periodik Baitul Maal, sementara para pedagang muslim atau produsen muslim wajib menghitung hartanya (assetnya) apakah sudah sesuai dengan nishabnya (batas harta yang
harus dibayarkan).
Penghitungan dengan sistem akuntan syariah itu di Indonesia belum terbiasa. Maklum, Bank Mualamat saja, sebagai Bank Syariah Islam pertama di Indonesia baru berdiri pada awal Nopember 1991. Itu
artinya akuntan syariah baru akan lahir setelah puluhan tahun bank itu berdiri. Tetapi fenomena munculnya transaksi syariah, usaha syariah di kalangan pebisnis Indonesia, kini telah mendorong lahirnya para
akuntan syariah untuk lebih mendalami masalah audit di bidang zakat dan bentuk perdagangan lainnya secara syariah Islam.
Itu sebabnya, penyusunan dan penyempurnaan akuntansi zakat oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) merupakan sebuah keharusan. Mengapa? ”Karena ini sebuah keniscayaan sejarah untuk pelaksanaan
dan pengelolaan zakat sesuai dengan kaedah syariah Islam dan sejalan dengan adanya konsep GCG/ good governance,” ujar Dr. Setiawan Budi Utomo, Ketua Tim Kerja Akuntansi Zakat IAI, kepada Muh.
Yusuf, wartawan Akuntan Indonesia, di Jakarta, belum lama ini. Menurut Setiawan, posisi amilin (pengelola zakat) yang diformalkan dalam bentuk LAZ maupun BAZ merupakan lembaga kepercayaan
publik yang sensitif pada isu public trust (kepercayaan publik) dalam penghimpunan dan penyaluran dana zakat.
taken from: http://www.iaiglobal.or.id/data/referensi/ai_edisi_02.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar