Senin, 17 Januari 2011

Good Public Services (sebuah pelayanan prima negeri impian)

"maaf mas, masih ada yang belum diisi"
"kan sudah diisi semua?"
"administrasinya mas, belum diisi"
"berapa mas?"
"ya karena mas ingin cepat, jadi agak mahal"

mungkin sebagian besar dari kita sudah pernah mendengar atau bahkan mengalami sendiri sebuah percakapan semacam percakapan diatas. beberapa dari kita akan memandang percakapan diatas adalah hal lumrah, wajar, bahkan tidak perlu dipermasalahkan. semakin kita menganggap percakapan diatas yang terjadi di sebuah kantor kelurahan antara penulis dan petugas pembuatan KTP, maka secara tidak langsung kita sedang membenarkan sebuah potret kelam dari pelayanan publik di negeri ini.sebuah potret pelayanan publik yang masih jauh dari kata ideal. yang lebih memprihatinkan, bahwa sebagian masyarakat justru membuat hal itu terlihat wajar. bahkan pelayanan publik akan menjadi tidak wajar bila tanpa sebuah kecurangan didalamnya.

penulis tidak mengatakan hal tersebut terjadi di semua lini dan daerah di indonesia, penulis juga tidak mengatakan hal tersebut terjadi di sebagian besar wilayah bumi pertiwi. penulis semata-mata menuliskan apa yang pernah terjadi pada diri penulis beberapa waktu yang lalu.

Arogansi Vs. Kebutuhan Masyarakat
sudah bukan rahasia lagi bahwa masyarakat sangat membutuhkan adanya pelayan masyarakat guna membantu mereka dalam memenuhi aturan aturan yang berlaku di negeri ini, mengingat ke'awam'an masyarakat terhadap hal-hal yang berbau pemerintahan, birokrasi, dll. Dengan kebutuhan masyarakat yang begitu besar terhadap seorang pelayan publik, seorang pelayan publik lambat laun akan merasa merekalah yang dibutuhkan masyarakat, hal tersebut membuat mereka bertindak lebih arogan dan merasa tahu segalanya, di lain pihak, masyarakat yang awam terhadap sebuah sistem birokrasi negeri ini, hanya bisa berkata ya tanpa bisa menolak, meski hal tersebut jelas bertentangan dengan apa yang mereka inginkan.


ironis memang melihat hal tersebut, pelayan masyarakat yang seharusnya bekerja untuk melayani masyarakat seakan lupa dan cenderung bekerja dengan prinsip memperkaya diri sendiri, seringkali mereka berpikir hal tersebut sudah banyak dilakukan sehingga lumrah. laluapakah kesalahan yang dilakukan secara berjamaah lebih baik daripada sebuah kebenaran individu?

pelayan masyarakat seakan lupa bahwa mereka telah mendapat gaji atau bayaran yang setimpal dengan pekerjaan mereka dari masyarakat. kalau kita ibaratkan sebagai seorang pembantu dan majikan, seharusnya seorang pelayan masyarakat memberikan pelayanan selayak pembantu kepada majikan karena majikanlah yang membayar mereka. bukan justru dengan memeras masyarakat yang awam terhadap birokrasi. yang cukup disayangkan, kejadian ini terjadi hampir di seluruh institusi pemerintah (sekali lagi, penulis hanya menulis apa yang pernah penulis alami). institusi pemerintahan, hingga institusi penegak hukum memiliki semboyan melindungi dan mengayomi masyarakat pun bahkan tidak sekalipun masyarakat (setidaknya penulis) merasa terlindungi ataupun terayomi.

Simbiosis Mutualisme
dalam tulisan ini penulis ingin setidaknya masyarakat sadar bahwa mereka membutuhkan seorang pelayan publik, dan pelayan publikpun sadar bahwa merekapun tiada tanpa adanya masyarakat. negeri ini adalah milik kita bersama, dan alangkah indahnya jika masyarakat dan pelayan masyarakat merasa saling membutuhkan, sehingga tidak akan lagi ditemukan sebuah tindakan arogansi atau semacamnya. penulis tidak ingin menyalahkan atau memojokkan siapapun, karena keindahan tercipta bukan karena adanya saling menyalahkan namun karena adanya saling membutuhkan.

dalam tulisan ini penulis juga yang hanya seorang mahasiswa, bagian dari masyarakat biasa hanya ingin memiliki negeri yang sesuai dengan harapan banyak masyarakat di negeri ini. negeri impian yang penuh dengan kejujuran, keikhlasan dan hal tersebut tercermin dalam sebuah pelayanan publik yang prima.

JAYALAH TERUS NEGERIKU INDONESIA.....-